Senin, November 4, 2024
Berita

Penggunaan Bahasa Daerah Sebagai Muatan Tematik Pembelajaran di Sekolah Dasar

Praktik pembelajaran tematik memberdayakan bahasa sebagai media pembelajaran yang relevan dan cocok dengan situasi, serta budaya terdekat. Prinsip kedekatan inilah yang menjadi pertimbangan pemilihan bahasa daerah sebagai muatan tematik dalam pembelajaran di sekolah dasar (SD) kelas awal.

Menurut Kepala Balai Bahasa Sumatera Utara, Maryanto, pemberdayaan bahasa sebagai teks yang fungsional dipakai dalam konteks yang beragam tingkatannya. Di SD kelas satu misalnya, tema diriku yang dimuat dalam bahasa daerah terdekat dengan siswa akan memudahkan penanaman nilai spiritual dan sosial sebagaimana rumusan kompetensi inti dalam Kurikulum 2013.

“Pada saat yang bersamaan, pemuatan bahasa daerah merupakan ikhtiar menjaga kebinekaan tetap utuh,” ujar Maryanto, di Medan, beberapa waktu lalu.

Selain tematik, bahasa daerah yang digunakan dalam mata pelajaran muatan lokal juga memudahkan proses pembelajaran. Termasuk di dalamnya penggunaan cerita rakyat yang sarat akan pesan moral dan adat kebiasaan masyarakat setempat menjadi salah satu cara untuk mengenalkan karya sastra dalam bahasa yang mudah dipahami.

Maryanto mengatakan, salah satu upaya memperkenalkan dan melestarikan budaya ini, Balai Bahasa Provinsi Sumatera Utara melakukan penerjemahan cerita rakyat Sumatera Utara dalam bahasa daerah, bahasa Indonesia, dan bahasa Inggris. Kegiatan seperti ini, dilaksanakan oleh Balai Bahasa Provinsi Sumatera Utara dalam usaha pengayaan sumber informasi yang berkaitan dengan bahasa dan sastra.

Maryanto menjelaskan, kegiatan penerjemahan ini secara umum merupakan kegiatan mengalihkan pesan secara tertulis dari teks atau lisan ke suatu bahasa yang lain. Teks yang diterjemahkan, kata dia, disebut Teks Sumber (TSu) dan bahasanya disebut Bahasa Sumber (BSu), sedangkan teks yang disusun oleh penerjemah disebut Teks Sasaran (TSa) dan bahasanya disebut Bahasa Sasaran (BSa).

“Proses mengalihkan dan memindahkan makna bahasa sumber (BSu) ke dalam bahasa sasaran (BSa) bukanlah sesuatu yang mudah. Proses ini memerlukan keterampilan dan strategi yang terukur dari seorang penerjemah agar makna yang disiratkan dalam bahasa sumber (BSu) tidak berbeda dengan bahasa sasaran (BSa),” ujarnya.

Maryanto menyebut, proses pengambilan data naskah-naskah cerita rakyat yang ada di Provinsi Sumatera Utara dilakukan di tujuh kabupaten, yaitu Kabupaten Toba, Simalungun, Padanglawas Selatan, Tapanuli Selatan, Langkat, Nias, dan Samosir. Pengambilan data dilakukan melalui pertemuan dan dialog langsung dengan para informan di beberapa desa. “Informasi yang disampaikan oleh para informan kemudian dicatat langsung dan direkam sesuai dengan kebutuhan informasi yang diinginkan. Proses pengambilan data tersebut juga didokumentasikan dalam bentuk foto dan video rekaman,” jelasnya.

Data yang telah dikumpulkan selanjutnya ditranskripsi ke dalam bahasa daerah masing. Setelah proses transkripsi selesai, lalu dilakukan proses penerjemahan atau intratranslasi penulisan cerita rakyat ke dalam bahasa Indonesia. Langkah terakhir, jelas Maryanto, adalah menerjemahkan atau intertranslasi  cerita rakyat tersebut bahasa Inggris.
Setelah naskah selesai dialihbahasakan selanjutnya dilakukan proses penyuntingan, pembuatan ilustrasi (gambar), dan pengatakan. Kemudian langkah selanjutnya adalah dengan melaksanakan diseminasi. Kegiatan diseminasi ini bertujuan untuk menyosialisasikan produk-produk penerjemahan tersebut sekaligus untuk meminta masukan atau saling bertukar informasi tentang produk penerjemahan Balai Bahasa Provinsi Sumatera Utara.

Peserta kegiatan diseminasi ini adalah para informan, peneliti, penerjemah, tokoh masyarakat, pemerhati budaya, kepala dan guru Sekolah Dasar, dan pengelola  taman bacaan masyarakat serta kalangan dari Pemerintah Daerah. Adapun pihak-pihak yang terlibat dalam proses pelaksaan kegiatan penerjemahan ini adalah peneliti, penerjemah, tokoh masyarakat, budayawan, sastrawan, kepala sekolah, guru, dosen, mahasiswa, komunitas baca/taman bacaan masyarakat, dan pemerintah daerah.

Maryanto menyebut, ada beberapa tantangan dalam proses pengambilan dan pengumpulan data. Mulai dari lokasi tempat tinggal informan yang jauh dan sulit dijangkau oleh kendaraan roda empat, hingga terbatasnya waktu berdialog, yang disebabkan profesi informan yang mayoritas adalah petani/pekebun. Belum lagi jika melihat sulitnya memahami cerita rakyat yang disampaikan secara utuh karena tim pengambil data tidak paham dengan Bahasa Simalungun, dan hanya mengandalkan penerjemah lokal.

“Mereka hanya menerjemahkan inti sari dari cerita yang disampaikan, dan beberapa informan sudah sangat berumur memungkinkan penyampaian cerita sedikit terkendala,” jelasnya.

Namun demikian, Maryanto berharap bahasa daerah ini dapat mengikatkan diri anak lebih erat dengan konteks sosial terdekatnya. Karena keterdekatan konteks pemebelajaran itu bahasa daerah dapat menjadi jembatan yang tangguh untuk mencapai tujuan pembelajaran sekolah melalui tema pembelajaran kontekstual dan mapel yang terpadu/terintegrasi dalam proses pembelajarannya. Pembelajaran muatan lokal tematik terpadu berbahasa daerah ini pun telah terdukung dengan berbagai produk peraturan perundang-undangan terkait pentingnya pemanfaatan bahasa daerah untuk mendukung kemajuan keberadaan bahasa Indonesia sebagai pengikat persatuan bangsa.

 

Sumber : https://www.kemdikbud.go.id/

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *