Kamis, November 7, 2024
ArtikelBerita

Strategi Advokasi Konsultatif dan Asimetris Kebijakan Merdeka Belajar melalui Pendekatan “IMPRESIF”

Kebijakan Merdeka Belajar yang diluncurkan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) merupakan fondasi dari restrukturisasi dan reformasi sistem pendidikan di Indonesia. Dikatakan restrukturisasi karena Merdeka Belajar merupakan instrumen untuk menata kembali arah pembangunan sumber daya manusia, dengan berfokus pada titik sentral pendidikan, yaitu proses pembelajaran. Disebut reformasi, karena Merdeka Belajar merupakan dasar untuk mendorong terjadinya perubahan perbaikan sistem pendidikan secara komprehensif mulai dari tingkat satuan pendidikan, pemerintah daerah, dan pemerintah pusat.

Untuk menata kembali dan melakukan perubahan secara drastis pada sistem pendidikan, tentunya bukan sesuatu yang mudah. Beragam tantangan kerap menghadang dalam pelaksanaannya, seperti: (1) adanya resistensi individual dan organisasi pendidikan, yang selama ini sudah terbiasa dan merasa aman dengan pola atau sistem lama; (2) ketidakpastian, yang berawal dari keraguan individu dan organisasi di mana memandang perubahan yang dilakukan tidak mudah diprediksi hasilnya; (3) persepsi negatif, yang terbangun dari cara pandang individu dan organisasi terhadap perubahan yang terjadi sehingga mempengaruhi sikap mereka; dan (4) ketidaksiapan, di mana individu dan organisasi merasa belum siap untuk menghadapi perubahan.

Beragam kondisi di atas secara nyata mengemuka dalam setiap implementasi kebijakan di tingkat daerah. Dipastikan hampir semua daerah di Indonesia mengalami hal yang sama. Tantangan tersebut dapat dirasakan terutama pada tingkat pemerintah daerah, baik secara individual, yang terdiri atas individu para pengambil kebijakan di daerah, seperti Kepala Daerah, Dinas Pendidikan, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, dan organisasi lainnya. Di samping itu, terdapat tantangan besar dalam konteks pembagian peran dan kewenangan urusan pemerintahan, khususnya di bidang pendidikan antara pemerintah pusat dan daerah sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 dan perubahannya dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pemerintah Daerah.

Namun dibalik berbagai tantangan itu terselip banyak peluang, terutama bagi Balai Penjaminan Mutu Pendidikan (BPMP) Sumatera Utara (Sumut) sebagai perpanjangan tangan Kemendikbudristek di daerah. Peluang itu setidaknya memberi kesempatan dalam peningkatan kapasitas organisasi sekaligus memastikan keberterimaan daerah terhadap kebijakan-kebijakan nasional pendidikan. Peluang-peluang itu tentunya harus dikelola dengan baik dengan menggunakan berbagai pendekatan.

BPMP Sumut sebagai organisasi yang berfungsi sebagai garda terdepan dalam implementasi kebijakan Kemendikbudristek di daerah memiliki peran penting dalam memberikan advokasi bagi individu dan organisasi di daerah.

Tulisan ini akan menguraikan pendekatan kolaborasi BPMP Sumut dengan Pemerintah Daerah dalam rangka mengimplementasikan kebijakan Kemendikbudristek. Adapun pendekatan yang digunakan dalam membangun kolaborasi tersebut adalah pendekatan yang bermakna, dengan akronim pendekatan ‘Impresif’

 

IMPRESIF: Sebuah pendekatan dalam membangun kolaborasi di daerah

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia Daring atau KBBI daring (https://kbbi.kemdikbud.go.id), kata “impresif” memiliki definisi: (a) dapat memberi atau meninggalkan kesan yang dalam; mengharukan; mengesankan; dan (b) dapat memengaruhi perbuatan atau tindakan. Definisi impresif dalam hal ini sepadan dengan konsep advokasi yang diperankan oleh BPMP Sumut yang menekankan pada kebermaknaan atas segala usaha yang dilakukan di daerah, dan pada akhirnya dapat mempengaruhi sikap dan perbuatan dari berbagai elemen daerah untuk melaksanakan kebijakan nasional pendidikan di daerahnya.

Namun dibalik definisi itu, sesungguhnya IMPRESIF adalah sebuah akronim yang dirajut dan disimpul berdasarkan untaian pengalaman dari BPMP Sumut dalam melaksanakan advokasi dan kolaborasi dengan Pemerintah Daerah. Akronim ini kemudian menjelma menjadi sebuah pendekatan yang efektif dan teruji dalam rangka membangun kerja sama dengan pemerintah daerah sekaligus mengedepankan semangat sama-sama bekerja untuk menyukseskan implementasi kebijakan Kemendikbudristek di daerah. Adapun pendekatan IMPRESIF yang digunakan dalam membangun kolaborasi dengan Pemerintah Daerah dapat digambarkan sebagaimana skema di bawah ini.

Berdasarkan skema di atas, dikemukakan tiga faktor utama yang menjadi perhatian dalam membangun dan mengembangkan kolaborasi di daerah, yaitu: (a) faktor pendorong, termasuk proses; (b) orientasi hasil; (c) inovasi dan keberlanjutan implementasi kebijakan. Melalui faktor-faktor tersebut maka IMPRESIF sebagai sebuah pendekatan berbasis pengalaman dapat diuraikan sebagai berikut:

  1. Internalisasi kebijakan

Setiap kebijakan yang ditetapkan Kemendikbudristek harus terlebih dahulu dipahami secara utuh dan dihayati oleh internal BPMP Sumut. Internalisasi kebijakan ini sangat penting dilakukan agar seluruh SDM internal mampu memahami secara komprehensif esensi dari kebijakan yang dikeluarkan, sekaligus mampu menerjemahkan setiap arahan yang diberikan Kemendikbudristek. Internalisasi ini juga mencakup penguatan pemahaman internal terhadap berbagai regulasi yang relevan, terutama berkaitan dengan ketata pemerintahan daerah, seperti Undang-Undang Pemerintah Daerah, Peraturan Pemerintah turunannya, Peraturan Menteri Dalam Negeri, dan sebagainya. Pemahaman dan penghayatan yang utuh terhadap kebijakan tentunya memudahkan BPMP Sumut dalam melakukan advokasi kebijakan di daerah

  1. Melaksanakan advokasi

BPMP Sumut berkewajiban melakukan advokasi kebijakan Kemendikbudristek di daerah. Dalam pelaksanaannya berbagai metode dapat dilakukan, seperti sosialisasi, fasilitasi, bimbingan teknis, dan pendampingan. Semua metode ini semata-mata mengarah pada upaya membangun kepercayaan, mempengaruhi sikap dan perbuatan dari berbagai elemen daerah, terutama pengambil kebijakan untuk dapat melaksanakan kebijakan Kemendikbudristek di daerahnya. Metode dimaksud dapat dilakukan secara daring atau luring yang difasilitasi oleh BPMP Sumut. Ketika proses advokasi ini terlaksana dengan baik maka dapat dikatakan bahwa kolaborasi awal dengan pemerintah daerah telah terjadi. Misalnya dalam hal pengerahan SDM daerah untuk mengikuti proses advokasi, fasilitasi waktu dan tempat pelaksanaan di daerah (luring), dan sebagainya. Selanjutnya, untuk mengetahui tingkat pemahaman dan keberterimaan pemerintah daerah terhadap kebijakan, maka BPMP Sumut perlu mengukur dan mengevaluasi efektivitas proses tersebut agar dapat menjadi jembatan bagi BPMP Sumut untuk melakukan tindakan persuasi lebih lanjut kepada Pemerintah Daerah.

  1. Pelibatan SDM daerah

Pelibatan sumber daya manusia daerah maksudnya adalah mengikutsertakan para pemangku kepentingan di daerah untuk terlibat secara langsung dalam proses advokasi yang dilakukan oleh BPMP Sumut. Pelibatan secara langsung ini dilakukan dalam rangka mendekatkan pemahaman para pemangku kepentingan daerah secara lebih baik terhadap kebijakan Kemendikbudristek, sekaligus memastikan terjadinya internalisasi individual dan organisasi di daerah. Pelibatan ini di antaranya adalah pelibatan pengambil keputusan di daerah, seperti Kepala Daerah, Kepala Dinas Pendidikan, Kepala Bappeda, dan Pimpinan OPD lain yang relevan untuk menghadiri, membuka, atau memberikan arahan/materi terkait dengan kebijakan daerah dalam merespons kebijakan Kemendikbudristek. Hal ini bertujuan untuk memudahkan proses pengambilan keputusan di tingkat pemerintah daerah untuk mendukung implementasi kebijakan Kemendikbudristek, karena asumsinya para pengambil keputusan telah memahami esensi kebijakan.

  1. Roadshow

Untuk mendorong partisipasi aktif dari pemangku kepentingan dalam membangun sinergi dan kolaborasi pelaksanaan kebijakan, diperlukan forum-forum atau komunitas pembahas di masing-masing daerah. Forum-forum itu harus dikelola dengan baik oleh BPMP Sumut agar dapat berfungsi sebagai simpul-simpul komunikasi di tingkat daerah. Untuk memastikan fungsi tersebut dapat beroperasi secara optimal, maka BPMP Sumut perlu melakukan ‘roadshow’ ke semua daerah di wilayah kerjanya. Salah satu metode yang dapat digunakan dalam roadshow ini adalah kunjungan langsung ke daerah-daerah baik secara simultan ataupun periodik untuk menguatkan forum-forum diskusi terpumpun yang berfokus pada implementasi kebijakan Kemendikbudristek. Forum ini bertujuan antara lain untuk: (a) mengevaluasi pelaksanaan kebijakan di daerah; (b) menyepakati langkah-langkah nyata untuk mendorong implementasi kebijakan; dan (c) memberikan pendampingan dalam hal sinergi pelaksanaan tugas dan tanggung jawab masing-masing untuk mendorong akselerasi implementasi kebijakan Kemendikbudristek di daerah.

  1. Elaborasi tugas

Elaborasi tugas adalah proses di mana BPMP Sumut bersama dengan Pemerintah Daerah menggarap secara cermat dan analitis ruang-ruang sinkronisasi dan harmonisasi kebijakan, program dan kegiatan. Proses elaborasi tidak dapat dilepaskan dari regulasi yang berlaku. Dengan acuan itu, pada akhirnya masing-masing organisasi dapat merumuskan dan menetapkan tugas teknis secara bersama dengan dukungan sumber daya yang tersedia.

  1. Secangkir kopi berbuah inspirasi

Esensi dari ‘secangkir kopi’adalah komunikasi informal yang dilakukan BPMP Sumut dengan Pemerintah Daerah di ruang-ruang publik. Komunikasi ini efektif untuk mempererat hubungan, komunikasi dan koordinasi dengan para pengambil keputusan di daerah dan pemangku kepentingan lainnya. Komunikasi secangkir kopi mampu menembus dinding-dinding birokrasi dan mengabaikan strata eselonisasi. Komunikasi kedai kopi juga menjadi faktor penguat persuasi sekaligus sinergi antara BPMP Sumut dengan Pemerintah Daerah

  1. Intervensi kebijakan dan anggaran

Salah satu metode advokasi yang dapat dilakukan oleh BPMP Sumut untuk membangun kolaborasi dengan pemerintah daerah adalah melalui intervensi pada perumusan kebijakan dan penganggaran daerah. BPMP Sumut harus mampu mengambil peran dalam perumusan-perumusan kebijakan di daerah, seperti dalam rancangan peraturan daerah, dan peraturan kepala daerah, serta kerangka atau perencanaan anggaran (APBD) yang dapat mendukung pelaksanaan implementasi kebijakan Kemendikbudristek.. Intervensi terhadap kebijakan dan anggaran adalah strategi efektif untuk mendukung keberhasilan implementasi kebijakan Kemendikbudristek di daerah.

  1. Fokus pada tujuan

Salah satu ciri organisasi efektif adalah yang berfokus pada tujuan. Karakteristik ini tentunya menjadi harapan bagi semua organisasi, tidak terkecuali bagi organisasi perangkat daerah. Selain berfungsi sebagai media dalam pengembangan organisasi, fokus pada tujuan adalah indikator yang menjadi bagian dari akuntabilitas publik. Dalam hal ini, BPMP Sumut dapat mengambil peran strategis untuk mengawal atau mendampingi pelaksanaan kebijakan, program dan kegiatan daerah yang menjadi bagian dari implementasi kebijakan Kemendikbudristek agar fokus pada tujuan dan mencapai hasil sesuai diharapkan. Di samping itu, capaian-capaian yang dihasilkan oleh Pemerintah Daerah dalam mengimplementasikan kebijakan Kemendikbudristek perlu diapresiasi oleh BPMP Sumut dan/atau Kemendikbudristek.

Berdasarkan uraian di atas, dapat dikemukakan bahwa pendekatan impresif adalah pendekatan yang memiliki dampak berkelanjutan seiring dengan pengembangan inovasi organisasi (BPMP Sumut) dan kontinuitas kebijakan pembangunan pendidikan.

 

Epilog

Strategi Kolaborasi BPMP Sumut dengan Pemerintah Daerah dengan menggunakan Pendekatan ‘IMPRESIF’ dipandang efektif dalam rangka mewujudkan implementasi kebijakan Kemendikbudristek di daerah. Sesuai dengan makna kata impresif, pendekatan ini benar-benar terbukti mampu memberi kesan yang dalam kepada pemerintah daerah sekaligus mampu memengaruhi kebijakan daerah untuk mendukung dan melaksanakan kebijakan Kemendikbudristek.****


Penulis:

Agus Marwan – Konsultan BPMP Provinsi Sumatera Utara

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *