Kemendikbud Pertimbangkan Evaluasi Isi Daftar Periksa PTM Terbatas
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menyampaikan bahwa jumlah sekolah yang memenuhi daftar periksa setiap harinya terus bertambah. Hal ini menandakan, antusiasme satuan pendidikan untuk melakukan persiapan pembelajaran tatap muka (PTM) kian besar. Demikian dituturkan Pelaksana tugas (Plt.) Direktur SMA (Kemendikbud), Purwadi Sutanto, saat menjadi salah satu pembicara pada diskusi tentang persiapan PTM yang digelar Forum Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan melalui daring, di Bogor, (17/4).
Purwadi mengatakan, untuk mendorong peningkatan jumlah sekolah yang siap melakukan PTM, Kemendikbud akan mengevaluasi daftar periksa supaya lebih ringkas, padat, efektif, dan efisien. “Saya menyampaikan salam hormat kepada guru-guru dan sekolah yang antusias untuk melakukan persiapan agar segera membuka PTM Terbatas. Jumlah sekolah yang setiap hari mengisi daftar periksa dari Kemendikbud itu pun terus bertambah,” ucap Purwadi, dalam Diskusi Pendidikan tentang Persiapan PTM Terbatas yang digelar Forum Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan (Fortadikbud) dan Kemendikbud, di Bogor, 16-18 April 2021.
Namun diakui Purwadi, masih ada sekolah yang hingga hari ini belum mengisi daftar periksa tersebut. Hal inilah yang akan menjadi bahan evaluasi Kemendikbud untuk mempercepat PTM Terbatas di semua sekolah dapat tercapai Juli 2021.
Menurut Purwadi, ada beberapa hal yang menyebabkan sekolah belum mengisi daftar periksa, salah satunya karena begitu panjang daftar periksa yang harus diisi. Ia berpendapat, nantinya daftar periksa akan dibuat lebih singkat dan padat. Terlebih lagi sebenarnya, sebagian data yang dipertanyakan dalam daftar periksa sudah ada di dalam Data Pokok Pendidikan (Dapodik) yang sudah diisikan sekolah secara berkala.
“Kita perlu duduk bersama terkait banyaknya pertanyaan yang disampaikan dalam daftar periksa. Harusnya yang penting-penting saja sehingga sekolah bisa mengisi dengan cepat. Sebab kalau sering (berpengalaman) meminta data dari sekolah, data yang panjang lebar, (membuat) sekolah menjadi malas,” ungkapnya.
Dalam kesempatan ini, Purwadi juga kembali memberi gambaran, mengapa Surat Keputusan Bersama (SKB) empat menteri tentang Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran di Masa Pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) diterbitkan beberapa waktu lalu. Salah satu dorongan terkuatnya adalah karena tidak efektifnya Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) daring.
Pelaksanaan PJJ daring selama ini, diakui Purwadi, menimbulkan learning loss. “Terutama di level bawah. PJJ daring harus pakai device. Sedangkan di daerah yang tidak terjangkau sinyal harus pakai guru kunjung,” bebernya.
Tidak hanya itu, proses PJJ pun semakin tidak efektif mengingat tugas yang diberikan guru kepada siswa ternyata tidak selalu dikerjakan. “Terkadang orang tuanya yang mengerjakan. Jadi selama PJJ yang sekolah orang tuanya, bukan anaknya,” terang Purwadi.
Dari fenomena tersebut, kemudian muncul program vaksinasi nasional yang salah satunya diprioritaskan bagi pelayan publik dan lansia. Hal tersebut dikarenakan pelayan publik sering berhadapan dengan masyarakat, jadi harus sehat duluan. Termasuk guru dan tenaga kependidikan (GTK). “Seluruh GTK sudah vaksinasi akhir Juni semuanya, sehingga tahun ajaran baru kita sudah siap tatap muka semua sekolah,” kata Purwadi.
Momentum Berbenah
Founder Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM), M. Nur Rizal, saat menjadi narasumber di acara yang sama berharap kondisi pandemi ini menjadi momentum untuk berbenah bagi dunia pendidikan. Menurut Rizal, pandemi ini harus menjadi titik balik perubahan paradigma dan perilaku pendidikan. Pandemi Covid-19 bukan lagi sekadar perubahan metode belajar, dari pembelajaran luring ke daring atau PJJ.
“Pandemi ini tidak hanya dimaknai sekadar persoalan tidak bisa tatap muka. Tetapi justru menjadi titik balik bagaimana melakukan reorientasi paradigma di bidang pendidikan dan perilaku atau budaya-budaya lamanya,” kata Rizal.
Menurut Rizal, perubahan paradigma ini perlu terwujud bukan hanya karena desakan pandemi Covid-19. Lebih dari itu, dunia pendidikan di Tanah Air juga perlu mengantisipasi era VUCA atau era yang sangat tidak menentu dan perubahannya terjadi begitu cepat.
Dia menjelaskan, perubahan paradigma ini tidak hanya menyasar sekolah melainkan juga ke pemerintah. Sehingga jika perubahan paradigma ini terwujud di seluruh lini stakeholder pendidikan maka mereka akan mengerti bahwa tujuan utama pendidikan itu adalah memberikan dampak intelektual dan spiritual siswa.
“Fungsi pemerintah itu harus memastikan siswanya ke depan mendapatkan pembelajaran yang lebih konstektual, relevan dan membumi dengan persoalan-persoalan nyata,” sebutnya.
Rizal meyakini, jika perubahan ini bisa dimaknai secara holistik maka dunia pendidikan yang dikelola secara penuh oleh para stakeholder pendidikan akan bisa memberikan ruang membangun kepada siswa. Agar siswa pun bisa menemukan versi terbaiknya di dalam proses belajar mengajar. Yakni proses belajar yang menekankan pendidikan pada pengembangan talenta, minat, bakat yang berbeda supaya anak dapat tumbuh dengan kualitas yang sama.
Pembelajaran yang fokus kepada versi terbaik anak inilah, ujarnya, yang dapat menjadi dasar dalam perubahan kurikulum, asesmen, dan pengembangan guru. Selain itu, perubahan lain adalah agar guru tidak hanya melakukan transfer ilmu saja, namun juga memfasilitasi anak untuk menemukan solusi sendiri dari setiap permasalahan yang dihadapi.
“Gurunya itu menuntun kodrat anak-anak kita. Jika di depan dia memberi inspirasi, di tengah menjembatani dan di belakang mendorong anak-anak kita sehingga semua anak secara inklusif mendapat pendidikan dengan kualitas yang sama,” terangnya.
Hasil Survei
Di sisi lain, Rizal menuturkan, GSM melakukan survei pelaksanaan PJJ selama pandemi. Survei ini 94 persen dilakukan di sekolah jejaring GSM. Hasilnya, 20 persen menyatakan senang sedangkan 80 persen tidak senang. Survei menunjukkan bahwa siswa senang melakukan PJJ karena belajarnya santai (23 persen), waktunya fleksibel (11 persen) dan skill internet yang naik (10-15 persen).
Sementara siswa yang menjawab tidak senang PJJ itu karena bosan (20-26 persen), rindu ketemu dan bermain dengan teman (40 persen), kurang paham instruksinya (19 persen), kendala internet (13-14 persen) dan susah konsentrasi (14-15 persen).
Yang menarik dari hasil survei ini, terang Rizal, adalah siswa lebih senang dengan metode pembelajaran PJJ berbasis project atau problem based learning dibandingkan hanya sekadar membahas materi dari LKS. Hal ini menunjukkan bahwa peserta didik menginginkan pola pembelajaran yang berbeda.
“Kebutuhan diferensiasi pembelajaran, kebutuhan setiap anak diberi ruang untuk belajar berdasarkan pola, kebutuhan dan talenta sendiri. Problem based dan project based ini sepertinya bisa mewakili itu,” pungkasnya.
Sumber : https://www.kemdikbud.go.id/