Keseruan Aktivitas Sekolah Penggerak dalam Mengimplementasikan Kurikulum Merdeka
Dalam mewujudkan visi pendidikan Indonesia yang maju, berdaulat, mandiri, dan berkepribadian, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) meluncurkan program Sekolah Penggerak. Program ini berfokus pada pengembangan hasil belajar siswa secara holistik yang mencakup kompetensi literasi, numerasi, dan penguatan karakter. Guna memotret keseruan aktivitas di Sekolah Penggerak, pekan lalu, rombongan Kemendikbudristek berkesempatan berbincang langsung dengan kepala sekolah, guru, pengawas, dan beberapa peserta didik seputar penerapan praktik baik Profil Pelajar Pancasila di SMA Plus Budi Utomo, Makassar, Sulawesi Selatan.
Program Sekolah Penggerak merupakan penyempurnaan program transformasi sekolah sebelumnya yang mengakselerasi sekolah negeri/swasta berbagai kondisi sekolah dengan beragam latar belakangnya untuk bergerak lebih maju. Program ini dilakukan bertahap dan terintegrasi di mana kepala sekolah dan gurulah yang menjadi motor penggerak dalam menghasilkan lulusan yang kompetitif. Namun tak jarang, banyak kepala sekolah yang masih belum memahami program Sekolah Penggerak ini. Seperti yang pernah dirasakan oleh Dede Nurohim, Kepala Sekolah SMA Plus Budi Utomo, Makassar.
“Awalnya saya tidak begitu mengerti dengan Sekolah Penggerak namun rekan saya ada yang lebih dulu menjadi Guru Penggerak. Dari dorongan Pak Andi Fahri, saya lebih lanjut berkoordinasi dengan kepala sekolah lain, meski kebanyakan dari mereka juga kurang memahami program ini,” ungkap Dede sembari terus mencari informasi tentang program Sekolah Penggerak saat itu.
Kemudian, Dede memberanikan diri mendaftar. Mengetahui bahwa visi program Sekolah Penggerak yang mirip dengan visi sekolahnya yakni pembangunan karakter peserta didik, Dede semakin bersemangat mengikuti program ini. Namun, ia langsung dihadapkan pada tantangan untuk menaklukan soal esai yang cukup banyak dan harus diisi dengan ketentuan tertentu.
“Pertanyaan tersebut menyangkut aktivitas dan pengalaman kita selama menjadi kepala sekolah soal manajerial terutama. Dalam esai itu, kita harus menjawab dalam sekian ratus kata. Tantangannya adalah mau atau tidak kita menjawab itu,” urai Dede yang mengaku baru berhasil menyelesaikan seluruh pertanyaan dalam waktu beberapa hari.
Tahap berikutnya adalah tes praktik mengajar. Dede mengaku dapat menempuh tahap ini dengan baik karena sebelumnya ia adalah guru. Selain itu, menurutnya, apa yang ditanyakan oleh tim seleksi memang telah ia laksanakan sebelumnya oleh sekolah. Setelah lolos pada tahap ini, Dede melanjutkan tahapan tes wawancara. Pertanyaannya adalah seputar esai yang telah ia kerjakan sebelumnya.
“Alhamdulillah, saya bisa jawab dengan baik karena itu adalah praktik yang saya lakukan selama ini sebagai kepala sekolah. Mungkin teman kepala sekolah lainnya yang saat mengerjakan esai adalah orang lain maka saat wawancara kepala sekolah tersebut tidak menguasai sehingga tidak lulus,” tuturnya. Dari berbagai tahapan seleksi akhirnya SMA Plus Budi Utomo berhasil lolos sebagai Sekolah Penggerak pada tahun 2021 bersama dengan sembilan sekolah lainnya di Kota Makassar yakni lima sekolah swasta dan empat sekolah negeri.
Manfaat Mengikuti Program Sekolah Penggerak
Kepala SMA Plus Budi Utomo ini merasakan perbedaan yang nyata saat sebelum dan sesudah dirinya mengikuti program Sekolah Penggerak yakni meningkatnya capaian pembelajaran peserta didik yang linier dengan motivasi belajar siswa. Kurikulum Merdeka kata Dede, memungkinkan peserta didik belajar dalam suasana yang lebih menyenangkan sehingga memancing kreativitas dan kolaborasi antarsesama siswa.
“Di awal kegiatan pembelajaran kami lakukan asesmen terlebih dulu untuk melihat dan memetakan kompetensi siswa. Jadi, tiap guru mengetahui karakteristik siswanya. Kemudian, kami juga melakukan asesmen nonkognitif untuk mengetahui latar belakang budaya, keluarga, psikologis peserta didik,” urainya menjelaskan tahapan penerapan Kurikulum Merdeka di SMA Plus Budi Utomo. Dari sinilah guru memiliki acuan dalam memilih model/gaya pembelajaran yang tepat untuk peserta didiknya seperti visual, kinestetik, atau auditori.
Pada Kurikulum 2013, guru dan peserta didik diwajibkan untuk mencapai target pembelajaran tertentu meskipun mungkin sebenarnya kompetensi siswa belum mampu. Sementara di Kurikulum Merdeka, peserta didik belajar sesuai levelnya. Peserta didik lebih fleksibel dalam belajar karena guru bertindak sebagai fasilitator menyampaikan materi sesuai kebutuhan siswa seperti. “Bagaimana guru sebagai sutradara dalam kelas bisa memahami keragaman tersebut dan di sisi lain tujuan pembelajaran bisa tercapai,” terang Dede.
Dengan proses pembelajaran yang lebih dinamis dan fleksibel, Dede menilai peserta didik mengalami langsung praktik bernalar kritis serta belajar mengemukakan pendapat baik lewat musik maupun presentasi. Secara berkala, Dede selaku pimpinan tertinggi di sekolah, juga melakukan evaluasi dampak penerapan kurikulum ini pada guru maupun peserta didik. Pada kesempatan ini pula, ia berkesempatan menerima umpan balik dari guru.
“Tantangan terbesar saya sebagai kepala sekolah adalah mengubah pola pikir rekan-rekan guru untuk melaksanakan proses pembelajaran dengan kurikulum yang baru. Saya lakukan supervisi manajerial, supervisi akademik, saya lihat bagaimana guru mengajar di kelas, jika ada kekurangan saya beri pelatihan, saling berbagi,” lanjut Dede yang bangga dengan capaian pembelajaran siswanya di akhir semester akhir ini.
Turut hadir pada kesempatan yang sama, Pengawas Dinas Pendidikan Provinsi Sulawesi Selatan, Darma S. Landre menyampaikan dukungan atas program Sekolah Penggerak. “Kami giat masuk ke sekolah-sekolah untuk mengawasi pelaksanaan program Sekolah Penggerak untuk memastikan Guru Penggerak dapat mengimplementasikan materi yang didapat selama pelatihan dengan baik. Kami juga menyusun POS dengan melibatkan komite sekolah supaya guru dan sekolah mendapat arahan yang jelas dalam menjalankan program. Evaluasi juga dilakukan secara berkala untuk mengukur keberhasilan implementasi program Sekolah Penggerak,” jelas Darma.
Berdasarkan hasil pengamatan dan evaluasi tim pengawas, peserta didik menurutnya lebih bersemangat dalam menerapkan Kurikulum Merdeka. Adanya aktivitas pembelajaran yang berbasis praktik, seperti memasak, membuat kerajinan, maupun mempelajari kesenian daerah; nyatanya sangat disukai siswa. “Saat ada aktivitas yang mengangkat kearifan lokal, anak-anak senang sekali. Dalam menjalankan projek siswa terlibat dalam sebuah kolaborasi. Anak-anak tidak sadar, aktivitas yang dia lakukan sebenarnya sebuah pembelajaran,” ungkap Darma menggambarkan antusiasme peserta didik.
Salah satu peserta didik yang hari itu menampilkan hasil karya berupa kuliner khas Makassar Nasu Palekko dan Pisang Epe adalah Muhamad Rokyan, yakni siswa kelas XI yang mengaku senang memiliki pengalaman memasak bersama guru dan siswa yang lain. “Menurut saya sangat penting anak-anak muda mengetahui ragam kuliner tradisional agar kekayaan ini tidak hilang. Sayang sekali jika generasi berikutnya tidak tahu ragam kuliner daerah kita padahal masakan ini enak sekali, kaya akan rempah dan memiliki filosofi tersendiri,” ujar siswa asal Luwu Timur, Soroako, yang di sela-sela Unjuk Karya Kearifan Lokal siang itu, mengenakan baju adat Makassar.
Siswi kelas X yaitu Kirana Frizky Amelia juga mengatakan rasa senangnya ketika menjalankan praktik pembelajaran kearifan lokal dan kampanye anti perundungan. Sebelum memulai kegiatan, setiap anggota kelompok dibagi-bagi penugasannya. Menurut Kirana, guru dan siswa belajar bersama dan memiliki peran yang sama agar sukses membuat karya.
“Seru dan keren karena di situ kita terlibat aktif berkegiatan, berlatih bersama teman-teman, bernalar kritis, bekerja sama memecahkan masalah supaya projeknya berhasil dengan baik. Dalam praktik memasak kami pergi ke pasar bersama memilih bahan-bahan, ada yang memasak, mengurus perlengkapan, seksi kebersihan,” urai Kirana yang bersama kelompoknya membuat masakan Kapurung.
Sumber:
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan » Republik Indonesia (kemdikbud.go.id)